Februari 11, 2011

Selamatkan laut kita

Di dalam laut terdapat bervariasi sumberdaya hayati yang menyusun biota lingkungan perairan. Di antaranya adalah biota yang hidupnya menempel pada tegakan atau substrat yang terendam di dalam air laut dan kehadiraanya merupakan peristiwa alam yang wajar. Biota tersebut terdiri atas bakteri, tumbuhan, dan hewan (Puspitasari, 1997).

Dari segi kepentingan manusia, kehadiran biota penempel dapat mengganggu atau merugikan karena penempelannya tidak terbatas pada benda-benda alami. Penempelan pada benda-benda di bawah permukaan laut dapat menimbulkan pengotoran biologis yang disebut biofouling (Puspitasari, 1997).


Pengertian lain, biofouling merupakan akumulasi dan penumpukan dari mikroorganisme, tanaman dan binatang pada fase dewasa yang melekat sementara maupun tetap di atas permukaan substrate (material yang ditempeli biofouling) dan mengotori benda-benda yang terendam air laut (Heriansyah, 2007).


Biofouling dapat dibagi menjadi 2 yaitu mikrofouling yaitu pembentukan biofilm dan pelekatan oleh bakteri, makrofouling yaitu penyerangan organisme lebih besar dan bersifat merusak contohnya, barnakel (sejenis kerang-kerangan), remis, cacing polychaeta, dan rumput atau ganggang laut. Bersama-Sama, organisme ini membentuk suatu kumpulan pencemar (fouling community) (Wikipedia, 2009).


Biofouling dapat terjadi di sumur-sumur bawah tanah, dan di bagian luar dan bagian dalam ocean-laying pipa, serta di dasar kapal. Biofouling juga terjadi pada permukaan tempat hidup organisme laut, dikenal sebagai epibiosis (Yeti, 2008).


Menurut Heriansyah (2007) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan biofouling diantaranya yaitu:
1. Kedalaman air laut
2. Karateristik air laut
3. Komposisi kimia air laut
4. Sifat fisik air laut
• pH
• temperatur air laut
• tekanan air laut


Gerakan air laut
• arus dan gelombang
• tinggi, rendah gelombang
• pasang surut

Faktor-faktor tersebut membuat pertumbuhan biofouling begitu cepat dan kemudian masalah lanjutan yang ditimbulkannya dapat jauh lebih berat dari sekedar kerak atau korosi, daya hambat tranfer panasnya bisa 1:5 (5x) dibandingkan dengan kerak (scale). Disamping itu beberapa jenis atau strain bakteri ada yang dapat merusak atau memakan besi yaitu bakteri Desulphovibrio dan ada juga yang sangat berbahaya bagi manusia yaitu Legionella pneumophilia yang menyebabkan penyakit infeksi pernapasan pada manusia yang disebut sebagai “sick building syndrome” atau Legionnaire disease (Anonim). 


Keberadaan biota penempel (biofouling) pada kapal dan berbagai konstruksi buatan manusia di laut dapat menimbulkan masalah baik secara ekonomis, operasional yaitu adanya biota penempel pada lambung kapal yang telah berlayar 6-8 bulan dapat menyebabkan kecepatan kapal berkurang sampai 50% sehingga konsumsi bahan bakar meningkat sampai dengan 40%. Berkurangnya kecepatan kapal mengakibatkan tertundanya waktu berlayar selama 10-15% dari total waktu berlayar. Keberadaan biota penempel pada dasar atau lambung kapal juga mempercepat kerusakan mesin dan hilangnya waktu sekitar satu bulan setiap tahun untuk docking kering (Maley, 1947; dalam Puspitasari, 1997).


Berbagai metode sebagai upaya penanggulangan untuk mencegah dan menghilangkan biofouling terus dikembangkan. Dalam rangka memperkecil dampak pencemar (foulers), banyak struktur di dalam air dilindungi dengan antifouling mantel. 


Salah satu metode yang banyak digunakan oleh kalangan luas adalah aplikasi cat pelindung antifoulant komersial yang komponen utamanya adalah logam berat seperti, TBT (tri-n-butyl tin). Sayangnya, belakangan ini banyak penelitian telah membuktikan bahwa senyawa TBT tidak hanya toksik terhadap biota penempel tetapi juga membahayakan berbagai organisme non-target lainnya. Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya gangguan atau kerusakan yang lebih besar terhadap lingkungan hidup di laut, beberapa negara maju telah melarang penggunaan cat yang mengandung senyawa TBT ini untuk kapal dan instalasi marikultur (Yeti, 2008).


Pelarangan organotins seperti TBT dan triphenyltin ( TPT), dan biosida lain yang beracun adalah suatu masalah menjengkelkan bagi industri perkapalan; untuk itu hal tersebut menjadi suatu tantangan utama untuk produsen mantel untuk mengembangkan teknologi alternatif untuk mencegah pencemaran pada dasar atau lambung kapal (Wikipedia, 2009).


Salah satu cara antifouling yang aman dan tidak berbahaya bagi biota laut lainnya maka digunakanlah mikroba yang dapat menghasilkan senyawa antifouling. Mikroba tersebut adalah salah satu jenis bakteri karang, yang mana informasi tentang bakteri tersebut akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

1.2 Masalah
Yang menjadi permasalahan dalam hal ini yaitu:
1. Apa sesungguhnya permasalahan dari biofouling?
2. Apa yang dimaksud dengan antifouling?
3. Jenis bakteri apakah yang mampu menghasilkan senyawa antifouling alami yang aman bagi biota laut lainnya?

1.3 Tujuan
Mengetahui jenis mikroba atau bakteri yang mampu menghasilkan senyawa antifouling alami yang aman bagi biota laut lainnya.

1.4 Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah untuk memberi informasi tetang biofouling, antifouling, dan mikroba yang berperan sebagai penghasil senyawa antifouling untuk membasmi biota penempel pada lambung atau dasar kapal.

II. PEMBAHASAN
Biofouling dapat berupa lendir (slime) atau lumut (algae) dan bakteri atau mikroorganisma lain yang tumbuh di sistem pendingin. Biofouling sebagai hasil dari proses penempelan organisme fouling pada berbagai struktur di lingkungan laut telah menimbulkan banyak kerugian bagi pelaku industri kelautan.Untuk itu digalakkan upaya penanggulangan untuk mencegah dan menghilangkan biofouling terus dikembangkan.


Upaya penanggulangan tersebut yaitu dengan menggunakan antifouling. Sebelumnya, antifouling adalah antiorganisme penempel alami dimana berarti terdapat proses memindahkan akumulasi biofouling, atau mencegah terjadinya akumulasi biofouling. 


Dalam rangka memperkecil dampak pencemar (foulers), banyak struktur di dalam air dilindungi dengan mantel antifouling. 


Salah satunya yaitu aplikasi cat pelindung antifoulant komersial yang komponen utamanya adalah logam berat seperti, TBT (tri-n-butyl tin), tembaga, telah berkembang menjadi masalah baru sehingga memerlukan cat pelindung yang ramah lingkungan. Telah dinyatakan sebelumnya bahwa TBT membahayakan yaitu selain merusak hewan target (fauna penempel) juga merusak biota laut lainnya. Penemuan Claudia menjadi awal dilakukannya penelitian yang intensif terhadap dampak negatif TBT terhadap biota laut. Penelitian-penelitian itu dilakukan terhadap biota laut, mulai dari biota laut yang cukup sederhana seperti plankton, tunikata, sponge, anemon (mawar laut), sampai hewan tak bertulang belakang yang cukup maju seperti karang, bulu babi, bintang laut, keong, kerang-kerangan, hingga pada ikan seperti ikan salmon, trout, dan tuna. Hasil penelitian yang mengejutkan ditemukan pada keong. Keong-keong yang tercemar dengan TBT mengalami gejala yang disebut imposex (imposition sex), yaitu perubahan kelamin betina menjadi kelamin jantan karena munculnya penis palsu (Yaqin, 2004).


Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh TBT, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari pencemaran TBT. Salah satunya yaitu menyediakan dana yang besar untuk kegiatan penelitian penemuan zat antiorganisme penempel alami (natural anti-fouling). 


Indonesia mempunyai beraneka ragam biota laut yang berpotensi menghasilkan natural anti-fouling, seperti bulu babi, bintang laut, bakteri dan sebagainya. Penelitian seperti itu tidak hanya bermanfaat bagi upaya penyelamatan kesehatan manusia, tetapi juga mempunyai keuntungan ekonomi tertentu. Penemuan itu nantinya akan menghasilkan natural anti-fouling yang layak jual, sebab kebutuhan dunia terhadap zat antifauna penempel sangat besar sekali (Yaqin, 2004).


Pada makalah ini akan membahas tentang biota laut yang berpotensi menghasilkan natural anti-fouling. Salah satunya adalah bakteri karang Pelagiobacter variabilis UPS3.37.


Bakteri Pelagiobacter variabilis merupakan bakteri halofilik gram negatif yang diisolasi dari makroalga. Bakteri P. variabilis ini mampu memproduksi antibiotik pelagiomicin. Bakteri tersebut berasosiasi dengan organisme di lingkungan laut diketahui menghasilkan metabolit sekunder sebagai sumber senyawa alternatif antifoulant. Bakteri Pelagiobacter variabilis UPS3.37 digunakan sebagai bahan ekstrak kasar yang diformulasikan dengan cat untuk uji mikrofouling dan makrofouling di lapangan. 


Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kasar P. variabilis UPS3.37 mempunyai aktifitas antifouling terhadap bakteri fouling. Pada uji makrofouling menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kasar tanpa campuran cat mampu menurunkan jumlah penempelan barnakel atau biota penempel. Terlihat adanya pola semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar semakin meningkatkan aktivitas antifouling. Berdasarkan karakter fenotip tersebut, bakteri P. variabilis UPS3.37 dapat digunakan sebagai organisme probiotik untuk antifouling di dalam menghilangkan penempelan bakteri pada lambung kapal (Sabdono, 2007).

Gambar: Lambung kapal yang korosif akibat biota penempel (biofouling).

III. PENUTUP


Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa untuk menanggulangi biota penempel yang terdapat di dasar kapal tidak hanya dengan menggunakan bahan-bahan antifoulant komersial yang terbuat dari logam berat yang dampak mematikan bagi biota laut non-target tetapi alternatif lain penanggulangan yang lebih aman, kita dapat memanfaatkan biota yang telah ada di dalam laut sendiri sebagai agen antifouling. Yang salah satunya yang telah kita bahas adalah dengan menggunakan bakteri karang jenis Pelagiobacter variabilis. 


Dari hasil penelitian, bakteri karang P. variabilis mampu menanggulangi biofouling yang menempel pada dasar kapal. Ekstrak kasar bakteri karang Pelagiobacter variabilis dijadikan sebagai agen antifouling alami yang bisa dikatakan tidak membahayakan organisme laut nontarget lainnya.


Jadi, dapat dikatakan bahwa penanggulangan biofouling yang terdapat di dasar kapal tersebut merupakan pemanfaatan dari bioteknologi. Bioteknologi dapat digunakan untuk menanggulangi masalah dengan dua cara. 



Pertama, akar penyebabnya dapat diserang dengan memakai metode produksi yang lebih berorientasi kepada bioteknologi, yang bersifat lebih sedikit menimbulkan polusi. Kedua, mikroba dapat dimanfaatkan sebagai agen pembersih yang rakus, yang akan meniadaan semua jenis polutan. Hal ini berarti suatu penanggulangan dengan bahan alami yang tentunya tidak berdampak negatif bagi organisme non target lainnya, sehingga keberlangsungan hidup organisme non-target tetap terjaga di lingkungannya.







Tidak ada komentar: